LUNA
“mata hari berganti bulan, siang
berganti malam,
terang berganti petang, merana berganti
bahagia.
Bapak ibu, taktergantikan. Maaf ini dari
hatiku yang sudah final.”
-Rohman
Kisah
ini bermula dari kelulusanku sekolah menengah atas (SMA) namaku Luna seorang
gadis muda yang penuh dengan semangat dan cita-cita yang tinggi. Cita-cita
menjadi seorang jurnalis yang bisa mandiri dan tentunya membahagiakan orang
tuaku dan ibuku khususnya yang kini tinggal sendiri merawatku, pagi itu sang
fajar nampaknya tahu tentangku senyumnya menambah suasana pagi yang dingin
berubah menjadi hangat seolah-olah ingin menemani ibu pergi ke sekolah untuk
mendampingiku mengambil ijazah, senyum ibu begitu lebar berbaur dengan iringan
tangis haru kulihat membasahi pipi yang telah mengeras seolah pipi itu yang
menjadi saksi perjuangan ibu untuk membiayaiku sekolah hingga aku lulus.
“Luna!”
namaku dipanggil lewat microfon, sontak ibu kaget dan memelukku bangga ketika kepala
sekolah menyatakan bahwa aku sebagai murid terbaik di sekolahan. Perlahan ibu
melangkah dengan bantuanku untuk naik kepanggung mengambil penghargaan atas
prestasiku. sepulang dari acara kelulusanku ibu masih melanjutkan rasa haru
melihat anak semata wayangnya menjadi yang terbaik di sekolah, piala yang
beliau pegang diletakkan diatas meja kayu di ruang tamu tepat disamping foto bapakku
yang tersenyum, tersirat ibu ingin menunjukkan pada bapak tentang keberhasilan
beliau menyekolahkanku hingga lulus SMA.
Bapakku
telah meninggalkan kami sejak aku kelas 2 SD, bapak meninggal tertabrak kereta
api waktu bekerja bersama ibu mengais botol didekat rel kereta, sejak itulah
kami menjalani kehidupan berdua tanpa bapak.
Tiga
hari setelah prosesi kelulusanku tanpa sepengetahuan ibu aku mendaftar
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negri, tentunya dengan ikut seleksi
beasiswa, bukan aku tak mau jujur dengan ibu tapi aku takut ibu terus
memikirkan tentang biaya yang harus dibayar. Dua minggu setelah aku mendaftar
dan tes untuk masuk ke perguruan tinggi negri, tukang pos berhenti didepan
rumahku, ibu yang telah bersiap berangkat untuk mengais sisa-sisa botol
dijalanan terkaget melihat tukang pos yang berada tepat didepan pintu. “apa ini
rumah Luna?” tanya tukang pos kepada ibu, “benar pak, ini rumah Luna.” Jawab
ibu, pak pos kemudian menyerahkan amplop dan meminta ibu untuk tanda tangan. “ma’af
pak, saya tidak bisa tanda tangan.” pak pos hanya tersenyum dan melipat kembali
kertas yang seharusnya di tandatangani tersebut, setelah itu pak pos pergi.
Halaman
rumah yang penuh dengan lalu lalang sepeda dan anak kecil yang berangkat
sekolah lenggang sejenak. Langit yang sayu menambah gemuruh fikiran ibu, Ibu
masih bingung dengan surat yang beliau pegang, “Luna..” ibu memanggilku, aku
yang masih terbaring di tempat tidur lari menghampiri ibu, “iya bu, ada apa?” “ini
tadi ada tukang pos lewat dan ini untuk luna.” Sambil menyodorkan surat kearahku.
Dengan hati berdebar kubuka surat tersebut, aku tersenyum dan memeluk ibu,
sontak ibu kaget dengan pelukanku, dengan suara lirih ku hembuskan nada indah
di telinga ibu, sebuah nada tentang kelolosanku mengikuti seleksi beasiswa
masuk perguruan tinggi negri, kali ini gerimis datang suasana lenggang semakin
indah dengan keikhlasan langit yang merelakan air matanya jatuh ke bumi,
menciptakan nada yang indah kala bersentuhan langsung dengan atap rumahku dan
jatuh kedalam lubang kecil di pekarangan rumah. Memang tuhan adalah komposer
terbaik dan Dia maha tahu kapan harus menjadi back sound dalam sekenarionnya.
Bersamaan dengan itu ibu kaget mendengar suara lirihku senyum lebar bercampur tangis
haru kembali beliau tunjukkan, kali ini aku bisa membedakan dengan jelas antara
hujan dan air mata ibu yang menetes dari kelopak matanya.
Dengan
tubuh gemetar ibu berkata “bagaimana ibu bisa membayar kuliahmu Luun, ibu bukan
orang kaya!.”, aku sudah meramal bahwa ibu akan mengeluarkan kata-kata itu,
bukan kali pertama ibu berkata seperti itu, itu adalah kata-kata yang beliau
ucapkan dua tahun lalu saat aku meminta izin untuk pergi ke kota mengikuti
olimpiade matematika. “tenang bu, Luna mengerti dengan keadaan kita, ibu tidak
harus membayar bu, cukup do’akan saja luna berhasil.” Dan kata-kata yang sama
aku keluarkan untuk menenangkannya. Memang aku adalah gadis yang selalu percaya
akan keajaiban-keajaiban tuhan karna almarhum bapak dulu pernah bilang “Tuhan
kita (Allah) sesuai dengan prasangka hambaNya (manusia)” sejak saat itu aku
selalu bercerita pada Tuhan dan berkeyakinan bahwa Dia mampu menjawab semua
yang aku rasa, terlebih soal cinta. (
selanjutnya)
Dengan
menangis haru ibu kembali memelukku dan berkata “Lihat pak, luna kuliyah, luna
anakmu jadi mahasiswa, pasti kau senang disana pak.” Ucapan ibu membuatku meneteskan
airmata. Aku teringat dengan kata-kata bapak sewaktu kita lewat disebuah kantor
dulu, dengan mengambil botol di jalan depan kantor bapak berkata “Lun.. semoga
kamu tidak jadi seperti bapak, bapak ingin kamu ada di dalam sana duduk disofa
dan melihat dunia dari atas sana.” Kata-kata bapak itulah yang membuatku
meneteskan air mata.
Hari
berlalu begitu cepat setelah pengumuman kelolosanku masuk perguruan tinggi
negri, kini tiba saatnya aku pergi kekampus untuk melengkapi berkas-berkas.
Terlihat disamping kanan kiriku pemandangan yang menyejukkan, pemandangan yang
mengingatkanku pada ibu yang mungkin sekarang dijalan mengais sisa-sisa botol.
Biarpun ibu tidakmau ikut mengantarkanku tapi do’a ibu selalu ada bersamaku. “permisi
mbak..” seorang bapak-bapak menggeser tempat dudukku, “sendirian mbak?” “iya
pak” jawabku singkat. “ibu bapaknya kemana mbak?” “ ibu sedang kerja pak dan
bapak saya sudah tidak ada.” Sambil menunduk bapak itu menyesal “ ma’af mbak
bicaraku menyinggung mbak.” “ndak papa pak, permisi saya mau mengisi
berkas-berkas dulu” sambungku sebelum mengahiri percakapan dan meninggalkan bapak
tersebut. Setelah berjam-jam ahirnya aku selesai mengisi berkas-berkas dan kini
aku secara administrasi telah resmi menjadi mahasiswi di kampus ini.
Raja
siang tersenyum cukup lebar hari ini membuat keringat terus bercucuran di
tubuhku, aku keluar dari kampus dan digerbang kampus di simpang jalan terlihat
ibu dengan menenteng karung sedang duduk berteduh, wajahya terlihat lelah, aku
menghampiri beliau dan mengajaknya untuk pulang, itulah ibu beliau tak akan
pulang sebalum kantongnya terisi penuh.
Tiga
tahun telah berlalu dan kini tiba saatnya penantianku yang telah lama hampir
terwujud, yaitu menjadi sarjana. Ibu juga terlihat semakin tua, kulitnya yang
semakin mengeriput menyiratkan perjuangannya untuk membantuku begitu besar,
seorang wanita yang tanpa pernah kenal menyerah untuk menemaniku dan mendukung
langkah-langkahku. “buk..” panggilku dengan senyum kearah beliau, ibu
membalasku dengan senyuman pula, “bu, aku sudah mau lulus tinggal menyusun
skripsi.” “Alhamdulillah, semoga lancar nak, ibu ingin kembali mengantarmu
mengambil ijazah seperti dulu.” Sambil tersenyum tapi tangannya tak berhenti
memilah botol-botol untuk di jual besok. Suasana menjadi hening saat ibu
membuka lemari yang usang dan mengambil botol plastik “nak, ibu punya tabungan
semoga ini cukup untuk membantumu.” Sambil menyodorkan botol plastik dan
membuka botol tersebut, “uang ini hanya tiga ratus ribu nak gunakan untuk
kuliyahmu.” “terimakasih buk, tapi sebaiknya ini buat makan saja buk, biar Luna
cari sendiri uang untuk sekripsi luna.” “Sudahlah nak, ibu memang sengaja menyisihkan
penghasilan ibuk agar bisa membantu kuliyahmu.” Malam itu menjadi malam yang
melankoli bagiku meski tanpa perpaduan antara hujan dan atap rumah nyatanya air
mataku berhasil jatuh dengan sempurna sebelum menggantung lama di daguku “uang
ini akan aku gunakan sebaik mungkin buk.” Ibu tersenyum senang melihat aku
menerima uang pemberian beliau.
Hari
ini menjadi hari yang membanggakan bagiku, betapa tidak sekripsiku diterima dan
aku tinggal menunggu pengumuman kelulusanku, aku pulang dengan senyum sangat
lebar, melihatku tersenyum lebar ibuk tak kuasa memendam pertanyaan dalam
hatinya, “Lun, ada apa nak?” aku hanya senyum tanpa membalas pertanyaan ibu,
hingga keesokan harinya saat ibu menyiapkan makanan aku mengendap-endap aku menaruh undangan wisudaku di atas karung
kerjanya. Setelah makan bersama ibu pamit untuk kerja, aku memandang terus
kearah ibu tanpa berkedip, aku ingin melihat reaksi ibu saat melihat undangan
wisudaku. “Lun,, ini amplop apa?” teriak ibu sambil menenteng undangan
wisudaku, sini buk aku bacakan, setelah aku bacakan isi dari undangan tersebut
ibu tersenyum, kali ini air mata tak satupun menetes dari pelopak matanya,
diambil undangan dari tanganku, cepat cepat beliau mengemas karungnya dan
secepat mungkin beliau pergi. Aku jadi bingung “kenapa ibu terburu-buru
sekali?”. Ternyata beliau menuju ruang tamu punggungnya membelakangiku dan
kepalanya menatap keatas lama sekali, foto bapak yang kusam namun masih
terlihat gagah tertempel di dinding ruang tamu kita yang sederhana menjadi
lawan bicara ibu kali ini.
“Pak
anak kita menjadi sarjana, liahat pakk!.” “ lun ini kapan kamu diwisuda?” “
Besok buk, ibu harus datang mendampingi luna.” “iya lun ibu pasti datang.”
Setealah meletakkan undangan ibu pergi bekerja.
Matahari
mulai berjalan kebarat pertanda ibu bersiap untuk jalan pulang. Aku pergi
keluar untuk membeli makanan kesukaan ibu yakni pecel lele, pantas saja ibu
lama pulang jalanan sore ini cukup padat. Aku berjalan cepat untuk pulang
dengan harapan aku lebih awal masuk rumah dari ibu, dipersimpangan jalan
terlihat banyak kerumunan orang nampaknya ada kecelakaan, kesimpulan ini aku
buat setelah dari jauh terlihat mobil hancur didepan tiang telefon karna
buru-buru aku tak sempat ikut andil dalam kejadian itu padahal bapak dulu juga
selalu bilang “kita hidup di dinia ini Cuma sekali maka lakukan hal baik
berkali-kali.” “maaf yah, kali ini aku terburu-buru pulang, takutnya ibu
mendahuluiku pulang.”
Setelah
sampai rumah aku menyiapkan makanan untuk ibu, belum selesai aku menyiapkan
makanan terdengar ketukan pintu yang sangat keras. “Luuunn buka lun! cepatt!!”
suara itu semakin keras, dengan berlari aku membuka pintu dan mataku menjadi
tajam setajam mata elang yang telah fokus pada mangsanya, kali ini benar-benar
aku fokus dengan apa yang ada di hadapanku. “ibu” teriakku yang seolah-olah
keras namun ternyata pelan, mulutku kaku melihat ibu di angkat para warga masuk
kerumah, ibu nampak kaku dan masih berlumuran darah.
Air
mataku takbisa terbendung mendengar ucapan dari mulut pak Rusdi bahwa ibu telah
meninggal tertabrak mobil. Sepontan aku memeluk ibu dengan erat, aku menjadi
elang yang telah menerkam mangsanya. “ buukk bangun buuk! Besok kita akan
kekampus buk! Besok Luna diwisuda..” sambil menangis terus kupeluk jasad ibu.
Sampai ibu dimakamkan air mataku membanjiri setiap jalan yang kulewati.
Keesokan
harinya ketika hati yang masih diselimuti awan gelap berjalan menuju panggung wisuda,
terlihat kiri kanan para wisudawan-wisudawati bersama orang tua mereka saling
membagi senyum aku hanya menunduk haru mendengar namaku disebut dan tak terasa
kini aku sudah menjadi sarjana. Aku pulang tidak langsung menuju rumah tapi aku
menuju pusara ibu dan bapak, disitu aku bercerita tentang wisudaku. Sebuah
cita-cita orang tua yang melihat anaknya memakai toga dan menjadi sarjana,
meski hatiku menangis tapi aku percaya di sana ibu dan bapak melihatku dengan
senyum bangga, aku sadar cinta mereka takkan pernah bisa ku balas dengan
apapun. Aku sayang kalian bapak, ibuk. Semoga kalian tenang disana.
Aku
mengambil kertas dalam tas dan bolpoin kutulis sebuah surat untuk bapak dan
ibuk lalu ku taruh di antara pusara mereka berharap mereka dapat menegerti apa
yang kurasa saat ini,
Untuk bapak dan ibu disana...
Pak, buk aku telah menyelesaikan
sekolahku, lihat buk ini toga ku, ini ijazahku terimakasih dulu kalian dengan
segala keterbatasan mengantarkan aku ke gerbang sekolah TK. Senyum kalian
selalu kuingat pak, buk.. kala itu aku menangis berharap kalian menungguiku
sekolah tapi setelah aku kelas 5 SD baru aku tahu kalian sibuk dengan pekerjaan
kalian. Aku tidak pernah malu buk dengan pekerjaan kalian aku sangat bangga
dengan kalian.
Pak.. ma’af aku tidak dapat menjaga
ibuk dengan baik sehingga ibu harus kembali dengan cepat..
Bapak, ibu.. anakmu telah diwisuda
dan aku berjanji akan duduk di sofa empuk sesuai keinginanmu. Terimakasih pak
bu. Luna sayang kalian...
“Luna”
Setelah
puas aku menulis surat untuk ibu dan bapak dan menaruh surat itu di antara pusara mereka berdua aku lekas kembali
kerumah dengan tekat dan semangat yang menggebu, rasa ingin membahagiakan bapak
dan ibu akan selalu ada dalam lubuk hati walaupun beliau telah tiada namun
mereka meninggalkan sebuah pelajaran yang berharga tentang sebuah kasih sayang
yang dapat merubah dunia.
Besok
aku datangi kantor itu.
0 Comments