Luna 2

Lampu-lampu kota telah dinyalakan pertanda babak baru akan segera datang, hutan beton yang dulu kupandang di setiap dinding kelas kini aku saksikan dengan mata telanjang. Pandanganku pulai terfokus pada cahaya paling terang diantara puluhan cahaya yang menggantung di sepanjang jalan. Sepertinya lampu itu memang sengaja dinyalakan lebih terang, aku menerka-nerka sembari berusaha membuyarkan lamunan. 

Sementara jauh di ujung trotoar aku melihat banyak gadis seusiaku berjajar seperti menunggu jemputan. Benar saja satu demi satu gadis itu menghilang bersamaan dengan hilangnya mobil-mobil yang daritadi melaju sangat pelan. 

Sedari tadi siang Tuhan menyuguhiku dengan pemandangan-pemandangan janggal. Mulai dari tangan kenek angkot yang menyelinap disela-sela tubuh perempuan, pedagang pasar yang di maki habis segerombolan preman. sampai tengah malam suguhan itu berlanjut di ujung trotoar.

Lagi-lagi aku melamun yang bukan-bukan sembari mengingat  kata-kata ustadz Aman guru mengajiku di kampung halaman. Beliau berkata, suatu hari pergilah ke kota besar namun pesan dari ustadz jangan pernah lupa jalan pulang. 

Kini ucapan ustadz Aman perlahan mulai gamblang. Mungkin ini yang dimaksud dengan kota besar, kota metropolitan. Namun bagiku semua masih serba glambyar (buram). Besok aku mulai pasuk dunia perkuliyahan dan aku yakin perlahan semua akan jelas dan terang.

“Tiiin” (klakson sepeda mendekatiku) “ayo aku antar ke kos” ucap Alan yang ternyata sudah di belakangku. “Eh cepet kau datang lan” “iya, sedari tadi isun di belakangmu tapi takberanilah isun menyapamu habisnya kau seperti serius, tubuhmu kaku tak bergerak. Kau melamun ya?” “Gila, mobil-mobil itu grab, taksi atau angkot ya?” “Oh itu, tar kau juga tau sendiri. Ayo naik biar aku tunjukkan kosanmu.” “Iya” jawabku singkat sembari naik motor tua Alan. “Ini motormu lan?” “Iya, gimana bagus kan?” “Iya bagus, klasik.” “Cb100 emang idola lun. Nanti kau akan lebih sering menaikinya.” “Kok bisa?”  “Iya kan secara teori, pokoknya kesan pertama. Lah kau kan sudah punya kesan pertama dengan Cb ini tinggal tunggu tanggal mainnya.” “Pegangan lun, isun tak ngebut.” Dan tak terasa arah bicara kita di perjalanan itu semakin tak jelas, bercampur dengan angin malam dan temaram lampu kota menambah suasana semakin membingungkan. Setibanya di kosan aku ingin rebahan tanpa mengingat suguhan dari Tuhan. (Luna: hal.8)

Post a Comment

0 Comments