Bab 1 27 November 2015

Malam pertama ketika aku berkunjung kerumah sederhanamu di perantauan, 19.30 setelah isyak tepat para jama’ah keluar dari masjid aku nyalakan mesin dan keluar dari rumah perlahan roda berputar berpadu seirama dengan gerak pergelangan tangan, satu persatu pakaian putih lengkap dengan sarung dan sajadah terpasang di pundak kulewati dengan santainya, satu dua dari pereka kusapa dengan senyuman. Malam yang sunyi dan jalanan kamal nampak lenggang di pukul 19.30 ba’da sholat isya’ hanya sesekali lewat sepeda matic plat M. full gas mulai aku meniru gaya rosi dengan motornya di lintasan lurus sangat kencang dan sendiri di jalan panjang dari kamal hingga pertigaan. Takterdengar suara hewan malam yang biasa bersenandung di sepanjang jalan, kiri kanan terlihat gelap tak satupun pemandangan padi yang menghijau padahal ini sudah waktunya musim tandur. (musim tanam dalam jawa)

Sementara itu didepan kos terlihat dari jauh kau dan temanmu duduk bersandar di tembok menanti kedatanganku. Tak harus menunggu lama 10 menit aku sudah tiba di lokasi dengan gaya biasa tanpa make up, bedanya aku membawa kertas setebal 500 halaman sesuai pesananmu yang ku tenteng di tangan “Novel Rindu” adalah keinginan lamamu, entah kau ingin menghabiskan ceritanya atau hanya ingin melihat ratapan kisan cintanya, jelas kau lebih suka buku-buku Tere Liye seorang sastrawan penulis yang tampan itu daripada 30 halaman kisah karl max atau Adorno pemikir-pemikir sosiologi yang selalu kita bicarakan bahkan kita caci setiap hari.
Senyum manis kau tawarkan padaku malam itu seolah mengajak berlama-lama menikmati sepinya malam., rumah di pinggir jalan membuat pemandangan lalulalang sepeda motor seharusnya terekam atau sesekali mobil lewat seharusnya ada ditambah  rumah yang menghadap langsung ke arah jalan dan gedung terbesar di pulau ini namun nyatanya suasana tetap hening, perkumpulan remaja di samping kos juga tak menunjukkan tawa lepasnya, mereka hanya sesekali teriak namun itu tidak keras tak cukup memecahkan keheningan malam yang mulai sepi sejak evi memutuskan meninggalkan kami berdua di depan rumah, hari itu, malam pertama bersama  cahaya sabit yang perdetik sempurnakan lengkungannya menambah manisnya malam.
Banyak kata yang terlahir dari obrolan tengah malam itu, aku, kau dan pilihan diksi yang terucap cukup bersahaja namun berirama seperti narasi yang tersusun rapi menembus waktu hingga 12 tengah malam hingga aides dan Gryllidae berkoalsi membuyarkan indahnya malam.


Post a Comment

0 Comments