Tasbih Himalaya (Ani Hariyantika)

Tahun ke 20 di Bulan Mei
            Catatan dibulan mei, ini adalah mei yang ke 20 tahun. Bulan ke lima di hari ke delapan, di tahun 1995 yang memberikan warna baru bagi sebuah keluarga kecil di ujung des asana. Seorang anak perempuan kecil telah lahir didunia ini, segera sang ayah mengumandangkan adzan ditelinga sang bayi perempuan itu, sementara sang ibu tak henti-hentinya menyeka air mata bahagianya. Bahagia karena Tuhan telah melengkapi keluarga kecilnya dengan malaikat yang telah mereka nantikan selama 5 tahun. Bayi mungil itu masih tetap menangis dalam dekapan sang ibunda, mungkin dia merasa tempatnya yang baru tidak senyaman tempat yang dia tempati selama 9bulan terakhir ini, tapi yang perlu dia tahu bahwa 2 orang ini yang akan terus melindunginya dengan segenap ketulusan yang mereka punya. Tak kurang dari suatu apapun, bayi perempuan itu hidup bahagia selayaknya anak-anak pada umumnya, semua kebutuhan terpenuhi meskipun dia bukan berasal dari keluarga yang kaya namun kasih sayang tak pernah kurang dari kedua orang tuanya.
           
Kini 20 tahun telah berlalu, anak kecil itu telah tumbuh menjadi gadis dewasa dengan nama Himalaya, aya biasa dia dipanggil. Kini hidupnya sudah tak seperti dulu lagi, yang selalu meminta dan selalu dituruti. Kini aya mengerti mengapa dia menangis saat pertama kali dia dilahirkan. Dunia ini kejam lebih kejam dari apa yang dia bayangkan. Tak ada orang yang bisa dipercaya, semua hanya mementingkan ego semata. Hingga aya mulai terbiasa dengan dunia yang penuh sandiwara katanya.
            Mulai mengenal manisnya cinta dan pahitnya pengkhianatan. Mulai merasa indahnya persahabatan dan sadisnya permusuhan, mulai mengenal senangnya menikmati hidup dan muaknya mendengar segala ekspentasi yang entah kapan akan menjadi realita yang diinginkan. Menelan berbagai macam janji-janji yang hanya sekedar janji tanpa tahu apa maksud dari janji tersebut, semua itu yang membuat aya semakin bingung menentukan jati diri. Harus kepada siapa aya percaya dan harus kepada siapa aya belajar berbohong. Harus kepada siapa aya membantu dan harus kepada siapa aya memanfaatkan semua keadaan. Aya seperti berada disebuah jalan persimpangan yang semua menawarkan kebaikan di awalnya, namun setelahnya tak kan pernah tahu apa yang terjadi. Entah memang jalan itu jalan yang benar atau itu jalan yang penuh dengan kesesatan dan kemaksiatan. Kedengkian yang mulai tumbuh berlahan di hati aya menguras sedikit demi sedikit segala kepolosan yang dia miliki saat masih anak-anak. Memang kita tak akan selamanya hidup dengan orang-orang yang tulus bersama kita, kadang rasa curiga dan waspada memang diperlukan sebagai benteng perlindungan diri, seperti yang aya lakukan saat ini. Mulai belajar banyak hal tentang pengkhiatan membuat aya semakin pesimis untuk percaya pada semua orang yang bertopeng dihadapannya, bagi aya kita hidup dengan segala topeng yang menutupi wajah kita, tak ada yang tahu siapa di balik topeng itu.
            Segala perbedaan yang katanya meerupakan wujud dari keindahan itu hanya rekayasa bagi segelintir pihak. Nyatanya yang beda memang tak pernah bisa bersatu, hidup berdampingan dengan rukun tanpa cela. Perbedaanlah yang menjadi penghancur yang sebenarnya. Yang menghancurkan hati dan menghancurkan segala cinta yang telah dibangun sejak pertemua pertama. Bagaimana bisa perbedaan menyatukan, jika semua orang malah mencela Karena perbedaan itu, terus ,menghujat dan mencaci dengan sendirinya, tanpa pernah tahu apa yang terjadi sebenarnya. Tanpa pernah berpikir bahwa dasar dari perbedaan itu adalah cinta dua makhluk Tuhan yang berharap bisa bersatu karena perbedaan.
            Bagi aya tak ada yang salah dengan dirinya, 20 tahun dia hidup normal layaknya mereka yang hidup secara berdampingan, namun sekarang diusianya yang ke 20 aya merasa berbeda dari mereka yang disekelilingnya. Aya merasa mereka terlalu turut ikkut campur tangan. Bertemu dengan banyak orang membuat aya paham bahwa yang beda memang selalu beda. Beda hanya membuat mereka bisa bersama bukan bersatu. Bagaimana bisa beda bisa membuat bersatu, jika yang berbeda itu adalah Tuhan.


Putaran Hati Himalaya
            Aya mengenalnya saat usia aya masih 19 tahun disalah satu taman kota di daerah Surabaya, laki-laki itu sedang bermain bola saat aya sedang memperhatikannya. Dengan tasbih yang melingkar ditangan aya, aya melihatnya dengan diam-diam. Lelaki dengan postur yang tidak begitu tinggi dengan wajah oval dan kulit yang berwarna sawo matang begitu menarik perhatian aya. Rambut yang acak-acakkan dengan satu lesung pipi yang terlihat saat dia tersenyum membuat aya semakin penasaran dengan lelaki itu. Dengan memakai baju bola yang telah basah dengan keringat, lelaki itu tiba-tiba menolehkan wajahnya kepada aya. Serta merta aya langsung menunduk menahan rasa malu diwajahnya. Hari berikutnya aya kembali bertemu dengan lelaki itu di salah satu minimarket, masih dengan tasbih yang melingkar ditangannya aya kembali merasakan putaran hati yang berbeda dari sebelumnya, sebelum sempat aya melihatnya lelaki itu telah melangkah meninggalkan minimarket.
            Putaran hati aya semakin menjadi-jadi kala aya mengingat sosok lelaki itu, sosok lelaki yang tak pernah aya tahu siapa namanya dan dari mana usulnya. Yang aya tahu aya mulai merasakan putaran hati yang berbeda dari semuanya. Aya selalu ingin bertemu dengannya, tak peduli meski hanya melihat lesung pipi yang terlihat saat dia berbagi tawa dengan teman-temannya. Itu sudah lebih dari cukup buat aya.
            Kali ini hujan deras tiba-tiba saja mengguyur kota, aya yang baru selesai pulang dari mengajar terpaksa harus menunggu sendirian di halte karena memang dari pagi cuaca sudah tidak mendukung jadi wajar saja jika tidak ada orang yang keluar rumah, terlebih hari ini adalah hari minggu. Orang-orang kebanyakan menghabiskan waktu dirumah bermalas-malasan atau sekedar menghabiskan waktu bersama anak dan istri dirumah,dari pada harus keluar rumah.
            Dari kejauhan aya melihat sosok lelaki itu sedang berlari menghampiri aya mungkin dia juga ingin berteduh sama seperti aya, pikir aya. Lelaki yang sama dengan gaya yang masih sama. Rambut yang basah karena terkena hujan, kaos oblong warna hitam dengan jaket warna serupa, celana pendek selutut dengan earphone menempel dikupingnya. Tersenyum dengan memamerkan lesung pipinya kepada aya, lalu kemudian pergi setelah bus menghampirinya. Iya. Hanya sesingkat dan sesederhana itu. Datang, tersenyum lalu pergi. Tanpa menanyakan alamat bahkan tanpa menanyakan nama. Masih dengan tasbih yang melingkar ditangan aya putaran hati aya semakin menjadi-jadi.
            Minggu ini aya kembali melihatnya di pertigaan lampu merah, dengan kaos warna merah dan celana pendek selutut dan rambut yang acak-acakan membawa gitar, lelaki itu sedang duduk di dalam bus, kali ini tanpa menoleh ke arah aya yang sedang menunggu bus di halte. Setiap hari minggu sejak pertama kali aya bertemu dengan lelaki itu. Halte itu menjadi saksi dimana aya selalu bisa melihat lesung di pipinya setiap aya akan berangkat atau akan pulang dari mengajar, sejak itu menunggu bus selalu menjadi pekerjaan yang menyenangkan bagi aya.
            Kali ini aya mulai merasakan jatuh cinta dengan sosok lelaki yang bahkan aya tak pernah tahu siapa namanya. Yang aya tahu lelaki itu selalu tersenyum setiap bertemu dengan aya di halte bus, kemudian pergi saat bus yang mereka tunggu sudah sampai di halte. Sesingkat dan sesederhana itu cinta aya. Datang, senyum, dan pergi.
           

Lingkaran Tasbih di Tangan Gadis Berkerudung
            Ev begitu dia dipanggil oleh teman-teman dan keluarganya. Everest nama lengkapnya, ev bukan penikmat gunung, ev lebih suka menikmati pantai dan air, bermain sepak bola dan music. Pergi ke gereja setiap hari minggu pagi atau minggu sore. Mengadu kepada bunda Maria atau bunda Theresia tentang gadis berkerudung dengan tasbih yang melingkar ditangannya yang dia temui saat bermain bola di taman kota. Dan kali ini gadis itu sering muncul dipikiran ev, bertemu setiap minggu di halte yang sama menunggu bus dengan tujuan yang berbeda. Ev jatuh cinta dengan gadis berkurudung itu. Ev jatuh cinta dengan gadis yang selalu melingkarkan tasbih di tangannya itu, ev jatuh cinta dengan senyum yang sellau bersambut dari gadis berkerudung itu.
            Pagi ini ev kembali bertemu dengan dia, dari kejauhan dia berjalan menuju halte, gadis yang sama dengan celana panjang, kaos lengan panjang warna merah di padu dengan cardigan warna pink dan jilbab dengan warna yang sama,sepatu kets yang selalu gadis itu pakai semakin mempercepat langkahnya menuju halte. Masih sama dengan tasbih yang melingkar ditangannya. Dengan tergesa-gesa gadis itu berjalan menuju halte, mungkin dia kesiangan, piker ev. Biasanya dia yang duluan berdiri di halte menunggu bus. Gadis dengan perawakan sedang, gigi gingsul yang semakin membuat senyumnya selalu di nanti oleh ev. Buss datang, membuat ev harus meninggalkan gadis itu, saatgadis itu baru sampai dihalte. Dengan ritual yang mereka lakukan seperti biassanya. Datang, senyum kemudian pergi.
            Ev dilahirkan dari keluarga kristiani, ayahnya adalah seorang pendeta. Itu sebabnya ev tak mau mengenal gadis beerkerudung itu lebih jauh. Karena ev dan dia berbeda. Ev menggengam tangan dan gadis itu menengadahkan tangan. Ev menggenggam kalung salib dan gadis itu menggenggam tasbih. Ev tak bisa memakai peci sementara gadis itu tak bisa melepaskan kerudungnya. Ev melangkahkan kakinya ke gereja sedangkan gadis itu melangkah menuju masjid. Ev membaca alkitab dan gadis itu membaca al quran. Ev dan dia dilahirkan dari agama yang berbeda.
            Pagi ini seperti biasa ev kembali bertemu dengan gadis itu, dengan kaos warna hitam dan cardigan jeans di padukan dengan rok warna hitam dan kerudung warna biru tua, masih dengan sepatu kets yang sama membuatnya semakin tampak begitu anggun, sembari menunggu bus disertai dengan hujan rintik-rintik yang mengguyur kota. Ev memperhatikannya dari jauh sebelum ev menghampirinya. Gadis itu duduk sendirian dengan membawa sebuah buku karya dari Hj. Irena Handono tentang “Perbandingan Islam dan Kristen” buku dengan gambar dua apel merah tersebut begitu menguras perhatiannya, sampai dia tidak tahu bahwa ev telah duduk bersamanya setengah jam. Sambil mendengarkan music ev merasa bahagia bisa duduk lebih lama didekat gadis itu. Mungkin akan lebih menyenangkan jika saja ev berani untuk bertanya siapa nama gadis berkerudung yang selalu membawa tasbih di lingkaran tangannya itu. Yang selalu ev temui setiap hari minggu sebelum ev berangkat untuk menceritakan pesona senyum gadis itu kepada bunda Theresia di gereja diujung jalan sana. Jalan yang memisahkan ev dan gadis itu.

Himalaya dan Everest
            Setahun telah berlalu, massih dengan keadaan yang sama saling menunggu di depan halte  dan pergi tanpa pamit. Yang ev tahu aya itu begitu sederhana, dengan kerudung daan tassbih yang melingkar ditangannya menandakan bahwa aya seorang muslim. Aya  dengan hobby membaca buku dan menyukai hujan. Itu semua ev tahu daari kebiasaan aya selama setahun ini. Pergi ke tempat yang berbedda dengan ev, dengan bus yang berbeda. Mungkin akan lebih nyaman jika ev dan aya tidak berkenalan secara resmi. Ev tak mau kehilangan aya, namun ev lebih menyayangi bunda Maria dari sejak ev dilahirkan dan di baptis oleh ayahnya sendiri. Ev tak mungkin mengkhianati keluarganya sendiri.
            Sementara itu aya, aya masih belum biasa menerima bahwa ev adalah kristiani. Aya tak sengaja melihat pergelangan ev  yang bergambar salib. Dan secara diam-diam pada minggu itu aya mengikuti ev, ternyata benar ev selalu menuju gereja setiap hari minggu. Ev dengan gaya cuek nya. Ev yang bisa menarik perhatian aya selama setahun ini ternyata berbeda dengan aya. Aya dengan tasbih di tangannya dan ev dengan salib di tangannya. Aya yang melangkahkan kaki ke masjid sementara ev yang selalu melangkah menuju gereja setiap minggu adalah penghalang yang besar bagi aya dan ev.
            Pernah suatu ketika ev mendengar aya membaca kitab suci al quran, melihat aya dengan kerudung warna pink dengan cahaya yang bersinar dari wajahnya. Membuat ev takut untuk lebih jauh mengenal aya. Aya dan ev tak bisa berbuat apa-apa setelah mengetahui bahwwa Tuhan mereka berbeda. Bahwa cara beribadah mereka berbeda. Penghalang yang paling besar yang takkan pernah bisa mereka hadapi.
            Biarlah, kini ev dan aya hanya bisa mengagumi dari jauh. Mencintai dalam diam, memohon dengan cara yang berbeda kepada Tuhan merreka masing-masing. Himalaya dan everest.
Antara Salib dan Tasbih di Pergelangan Tangan
            Sebulan ini ev sudah tak pernah lagi bertemu dengan gadis itu. Ev tak tahu harus mencari kemana, ev hanya bisa menunggu setiap hari minggu di halte yang sama. Dan hari minggu ini untuk kesekian kalinya ev harus kembali kecewa, gadis itu tak juga datang. Ev merasa ada yang hilang minggu paginya. Ev tak bisa berbuat banyak selain menunggu dan menunggu. Ev seperti merasakan patah hati yang teramat patah. kali ev mulai membiasakan diri tanpa gadis itu. Namun, tidak dengan minggu ini, ev melihat gadis itu sudah duduk di halte melihat kearah ev, gadis itu langsung tersenyum begitu melihat ev di ujung jalan. Ev segera berlari menuju gadis itu. Rasanya ev sudah tak bisa menahan rassa rindu.
            “hai… “ kata gadis itu sambil tersenyum                                                                               
            “kamu kemana, sebulan ini? Pindah rumah?” Tanya ev tanpa basa bassi.
            Gadis itu hanya tersenyum dan mengulurkan tangannya.     
“Himalaya. Panggil aja aya” katanya.
            Ev langsung menyambut tangan itu sambil tersenyum malu.
            “Ev”.
            “hmm… Ev”. Kata gadis itu belum mengerti
            “iya, ev. Everest”. kata ev menjawab kebingungan aya.
            Aya langsung tertawa geli mendengar jawaban ev. Ev kembali dengan rambut acak-acakan, kaos oblong warna biru dan celana kebanggannya. Rasanya rindu ini langsung mencair melihat ev mencari aya selama sebulan ini. Ini adalah pertama kalinya aya dan ev berbicara setelah setahun lebih mereka duduk di halte yang sama setiap minggunya. Aya memutuskan untuk pindah mengajar itu sebabnya setiap minggu aya sudah tidak pernah ke halte itu.
            Sejak pembicaraan pertama itu, ev dan aya semakin dekat. Ev suka pantai dan benci hujan, sementara aya selalu menikmati hujan. Aya suka membaca sementara ev menyukai music. Ev suka dengan keramaian dan aya selalu senang dengan keheningan. Dari awal ev dan aya memang berbeda. Kini setiap minggu pagi aya selalu ikut menemai ev ke gereja, aya selalu duduk di bangku samping pohon sambil menyelesaikan bacaan bukunya sementara ev mencerita banyak kepada bunda Theresia. Aya selalu menlingkarkan tassbih di tangannya dan ev memakai salib di lehernya. Ev dan aya terjebak dalam cinta yang berbeda dalam memuja Tuhan. Pernah suatu ketika saat aya menemani ev pergi ke gereja, ada seorang suster yang mendekati aya dan berkata “jagalah persahabatan kalian”. Dari suster itu aya sadar bahwa seelamanya ev hanya akan menjadi sahabatnya tidak lebih. Meskipun ev dan aya saling mencintai.
            Begitu pun dengan ev. Ev juga selalu bersabar menunggu aya mengisi acara-acara pengajian yang di adakan oleh remaja masjid. Atau pun menunggu aya menjalankan sholat saat mereka pergi. Ev tak keberatan jika aya membaca alquran setelah sholat maghrib atau jika aya harus menengadahkan tangan saat mereka makan. Ev mulai terbiassa mendengar aya mengucap ‘bismillah atau Alhamdulillah” saat selesai melakukan suatu pekerjaan. Massih dengan tasbih yang melingkar ditangan aya dan salib yang melingkar dileher ev. Massih seperti istiqlal dan katredal yang berdiri sejajar tanpa ada permusuhan. Kadang ev sempat berpikir mungkin jika katredal dan istiqlal bernyawa, mereka akan seperti ev dan aya yang mencintai secara diam-diam. Mungkin saja katredal dan istiqlal selalu berbagi rindu saat malam, saat para muslim dan kristiani seddang beristirahat. Istiqlal, katredal, aya dan ev. Berdekatan tapi tak bisa bersatu. Mereka hanya bisa bersama tidak untuk bersatu.

Madura, 2 Mei 2015
                                                                                                                        Ani hariyantika


Post a Comment

0 Comments